Tiga tahun, jika dihitung memang terasa
lama. Ada 1095 hari, 144 minggu, dan 36 bulan. Tapi jika dijalani rasanya
seperti mengarungi mesin waktu. Sangat cepat. Semua hari, minggu, bulan,dan
tahun terasa seperti beberapa detik. Tidak ada yang mengira, bahwa tiga tahun
akan secepat mengendarai pesawat jet. Tidak ada yang mengira, bahwa selama tiga
tahun itu kita membentuk beberapa kenangan manis maupun pahit, yang mungkin
akan sulit untuk dilupakan. Tidak ada yang mengira, semua kenangan yang kita
rajut selama tiga tahun itu akan mengantarkan kita pada perpisahan. Dan semua
hal tersebut berawal dari tahun 2011.
KELAS VII
Di tingkat kelas inilah, merupakan
tingkatan yang paling cupu dan alay. Walaupun masih unyu. Awal masuk sekolah,
namanya juga anak baru pasti masih malu-malu. Dan kalau didepan senior/kakak
kelas takutnya bukan main. Kita sampai harus nunduk nunduk kalau lewat didepan
kelas senior. Dan maka dari itu, kita tidak akan pernah rela melewati deretan
kelas IX.
Saat duduk dikelas VII ini, saya
langsung bisa hafal nama orang-orangnya dalam 1 hari. Tapi, baru bisa hafal
wajah orang-orangnya 1 minggu setelahnya. Dan baru bisa mengenal dekat orang
orangnya saat saya duduk dikelas IX. Dan orang yang namanya pertama kali saya
kenal itu Oktaviani Roosdiawati. Alias Kak Ros. Alias Via. Alias Mbak Bos. Alias
Cecep.Yang tatapan matanya itu setajam silet. Yang gaya berbicaranya itu seliar
Farhat Abbas. Yang tingkah lakunya itu seganas ibu saya. Pokoknya dia itu sosok
antagonis yang agak wagu. Nah, Kak Ros ini saya kenal saat saya bingung mencari
kelas. Waktu itu wajahnya masih seperti malaikat, yang unyu unyu botak gimana
gitu.
Yang kemudian, saat hari pertama
masuk kelas saya berkenalan dengan Anak Agung Istri Mas Ratnaningrum. Anak bali
yang berbahasa jawa. Anak bali yang tidak seperti anak bali. Anak bali yang
puitis. Anak bali yang ingin jadi penulis. Anak bali yang mau menerbitkan buku
tapi tidak jadi jadi. Anak bali yang—intinya dia ini anak bali. Kemudian, saya
mengenal satu anak bali lagi. Made Dana M, yang menurut saya kesan waktu kita
pertama bertemu itu negative. Karena dia itu selalu pegang Blackberry dan tidak pernah melirik sekitar. Dan itu yang membuat
saya member dia cap ‘anak kaya yang sombong’ yang padahal setelah dia bercerita
pada saya beberapa waktu yang lalu, ternyata dia hanya malu karena belum
mengenal siapapun.
Lalu, saya mengenal 26 orang yang
lain dengan cara yang berbeda beda . Yang ogah
banget saya ceritakan.
Dikelas VII ini anak-anaknya belum terlalu
asik, mungkin karena kita belum saling mengenal dekat. Tapi, dikelas VII ini
yang baling berkesan itu cekgunya/
gurunya. Mulai dari Rhoma Irama, Mr.Bean, Tintin, sampai Jokowi pun ada. Rhoma
Irama itu guru Fisika, Mr.Bean guru Bahasa Inggris, Tintin guru Penjaskes, dan
Jokowi guru Matematika. Penasaran sama nama aslinya? Baiklah, ayo kita bahas
satu persatu …
Yang pertama mau saya bahas itu Tuan
Guru kita yang terhormat, Dewa dan Raja Dangdut sekampungnya……. Rhoma Irama.
Sebenarnya, kita memanggil si bapak ini dengan sebutan Rhoma Irama bukan karena
tidak ada alasannya, terlebih karena gaya bicaranya yang di-Terlalu-terlalukan.
Nama asli manusia setengah dewa setengah raja setengah penyanyi dangdut
setengah guru ini adalah Bapak Sudaryanto. Guru ini jugalah yang berjasa
membuat saya buta akan Fisika selama satu tahun dikelas VII. Sungguh, saya
benar benar buta akan Fisika pada waktu itu. Mungkin karena saat itu sekolah
masih dalam status ‘SBI’ yang mana, si guru harus bisa menyampaikan pelajaran
kepada muridnya menggunakan bahasa inggris yang sebenarnya alakadarnya. Begitu
juga dengan Bapak Rhoma Irama ini, mungkin saya buta Fisika karena beliau ini
buta bahasa Inggris. Ya jadinya, beliau ini berbicara bahasa Inggris itu
seperti mengumpat, ya mana saya tahu dan
mengerti apa yang beliau ajarkan. Ditambah lagi, mungkin kalau bapak ini
mengajar dengan bahasa lisan yang ‘kurang baik’ tapi bahasa tulisnya baik sih masih mending, ya mungkin ini satu lagi alasan saya buta Fisika, karena
Bapak Rhoma Irama ini menulis menggunakan sandi rumput yang hanya dia dan Tuhan
yang mengerti. Lalu, apa saya harus memakai bahasa kalbu untuk mengerti?
Guru yang kedua adalah Mr.Bean, yang
lahir dengan nama Ibnu Agus T.[tidak usah
jelas jelas, tidak penting:p] Kesan pertama saya ketemu dengan bapak ini ya
Mr.Bean. Kesannya saya terhadap beliau ya begitu terus, sampai saya sadar,
kalau Mr.Bean ini sebenarnya sedikit mirip dengan Aziz Gagap, cuman kurang jambul kuningnya saja. Saat
pertama kali beliau mengajar, saya merasa kalau orangnya itu asik bener dan unyu unyu gitu, tapi setelah
beberapa kali mengajar langsung… si Mr.Bean berubah jadi Ibu Tirinya Bawang
Putih yang kejam. Kita sekelas, harus membawa buku grammar yang sangat tebal,
sehingga kalau digendong rasanya seperti menggendong gunung. Berat,cuy. Dan suatu ketika, saya pernah tidak
membawa buku grammar. Dan si Mr.Bean ini seperti sudah punya feeling kalau saya tidak membawa buku
grammar. Jadi dia langsung bertanya setangah teriak “Ada yang tidak membawa
buku grammar? Ayo maju~” karena saya ini diajarkan kejujuran oleh ibu,bapak,nenek,om,tante,dan
guru ngaji tentang kejujuran sejak kecil jadi saya maju. Walaupun saya tengak
tengok kanan kiri yang tidak membawa buku siapa,hehe. Dan setelah maju, namanya
juga Mr.Bean dan kalau tidak aneh pasti
bukan Mr.Bean lah. Jadi dia meminta
kami, satu persatu menyanyi lagu bahasa inggris. Saya? Ya mana saya tahu, kan
saya ngertinya cuma lagu korea. Sorry Sorry Sorry Naega Naega Naega~
tapi ya masak saya mau nyanyi lagu itu. Tidaklah, saya ini tahu diri kok. Jadi
saya hanya menyanyikan lagu Happy Birthday. Dan untungnya, saya Lolos!
Mungkinkah Mr.Bean sedang berulang tahun hari itu? Entah. Dan unfortunately, ananda Elang Pujangga[nanti dikelas IX sebutannya akan
diganti,hehaha] tidak lolos dalam permainan kehidupan ini. Jadi, Mr.Bean
meminta dia menyanyikan 10 lagu, kalau tidak mau akan ditambah menari. Nah lo!
Ya, antara ikhlas dan tidak ikhlas, ananda elang ini mulai bernyanyi.
Mengalunkan lagu dangdut yang sudah dia ubah menjadi bahasa inggris dengan
versinya sendiri. Suaranya sungguh, saya sungguh tidak tahan. Mr. Bean ini
memang tidak pernah habis akal. Setelah bosan mempermainkan kami dalam kontes menyanyi
dadakan, beliau mulai membuat sesuatu yang tidak tertandingi kekuatannya. Death Card [semacam kartu yang diberi nama ana anak kelas lalu dilaminating,agar
aman katanya]. Sekali panggil, tamat riwayat kita. Dan saya memang kurang
bersahabat dengan Death Card, karena
hampir disetiap pelajaran Mr.Bean saya yang menerima Death Card.
Yang ketiga itu Tintin, atau biasa
dipanggil Surya Paloh, eh salah pak Surya[saya
lupa nama lengkapnya] saya agak sebal, walaupun sebenarnya senang sama
pelajarannya. Kenapa saya senang? Karena, di pelajaran Pak Tintin ini pasti
selalu bermain. Jarang yang namanya ambil nilai. Tapi….. ini juga yang membuat
saya sebal. Karena terlalu banyak bermain, jadi kita ambil nilai itu selalu grusa grusu, maksudnya selalu terburu
buru. Jadi di pertemuan terakhir baru kita ambil nilai. Dan saya sebal juga
kalau disuruh yang namanya ‘senam’ karena kalau senam saya tidak pernah bisa
mengikuti gerakannya [walaupun setalah
saya ini,saya tahu bahwa bapak saya merupakan atlet senam] dan selalu
dipermalukan…
Jokowi oh Jokowi. Bapak kita yang
satu ini sangat mirip dengan Jokowi. Panggil saja Bapak Supriyono. Guru
Matematika tercinta kita, yang sebenarnya sangat saya benci ketika dikelas VII.
Sangat sangat sangat saya benci. Sungguh. Tidak tahu kenapa, bapak ini sangat
suka angka 6. Karena jika beliau meminta murid maju untuk mengerjakan
soal,pasti yang ditunjuk adalah nomor 6. Dan sialnya, itu nomor presensi saya. Whose fault? Saya tidak akan menyalahkan
orang yang member saya nomor presensi 6, tapi kenapa Pak Jokowi ini selalu
menunjuk saya? Kalau soal yang diberikan sewaktu menunjuk saya gampang sih, No Prob. Tapi… sekali lagi, apa salah
saya?kenapa soal yang diberikan kepada saya pasti yang sangat sulit. Bukan
sekedar sulit. Tapi Extremely sulit. I fuck u,sir. Saya masih ingat sekali,
saya tidak ditunjuk karena saya habis sakit cacar. Selama beberapa pertemuan beliau
tidak menunjuk saya sama sekali. Tuhan rupanya sedang menampakan keajaibannya.
Dan saya jadi sedih kalau mengingat nilai Matematika saya di kelas VII, semua 5
paling tinggi hanya 7,5. Tapi, untungnya saya bisa naik kelas dengan nilai
raport 8. Bah. Cerdas kan saya? Hanya saya tidak habis pikir, bukankah 1 dari
30 orang siswa ada satu orang yang lebih pintar dari saya, si ranking 1,Tante
Echa. Kenapa bapak tidak menunjuk Echa pak?
Mungkin bapak ini ngefans sama saya karena tahu saya nanti akan menjadi
orang hebat yang akan merubah dunia, hehe.
“Aku
ingin menjadi orang hebat. Orang hebat yang dapat membuat dunia berubah karena
keberadaanku, meskipun hanya sedikit.”
–Keteng