Sunday, 25 May 2014

The Future Leaders

“La vida son pasos. Y a cada paso que das, dejas algo atrás.”("Life are steps away. And every step you take, you leave something behind") Jordi BalaguerLa maldición de Gryal
Demi waktu. Daripada mengatakan waktu adalah uang, sebenarnya lebih baik mengatakan waktu adalah pedang.
Tidak terasa, 3 tahun itu berlalu sangat cepat. Beberapa hal berlalu begitu saja tanpa ada yang merenungi atau menyesali. Tapi, dalam beberapa hari ini saya menyesali beberapa hal yang seharusnya tidak boleh saya sesali. Tapi, ada juga beberapa hal yang rasanya ingin saya ukir diatas batu paling kokoh didunia. Persahabatan. Mendiskripsikan teman dua tahunan saya, dikelas 7 dan 9, sebenarnya agak tidak pantas. Karena ini menggunakan sudut pandang saya sendiri. Tapi, karena keinginan hati saya untuk memamerkan para calon orang sukses ini kepada kalian, saya pikir boleh boleh sajalah.
Dikelas 7 saya berada dalam satu kelas bersama mereka. Walaupun dikelas 8 tidak satu kelas, tetapi dikelas 9 kami dipersatukan lagi. Mungkin ini yang membuat ‘pertemanan kami kuat’ walaupun terkadang terlalu banyak cekcok. Setahun bersama mam Septi yang merupakan walikelas kami [yang sungguh, tidak pernah membimbing kami dengan benar] membuat bahasa inggris kami (agak) kuat. Terimakasih, walaupun bahasa inggris saya selalu salah dua.
Saya sebenarnya agak kehabisan kata kata, yang akhirnya saya akan mendeskripsikan mereka seperti yang dibawah ini. Sungguh, mereka bukan anak yang baik karena mereka telah  membuat otak saya hilang dalam waktu 2 tahun, dan membuat harga diri saya hilang.
Abay, yang terlihat seperti mayat berjalan. Atun, My Prince yang sok kecakepan. Rat, si galau-bijak. Dika, no comment. Elga, si penunggu sejati. Saya, makhluk Tuhan yang paling SexyDhanty, penyanyi #1. Arya, Big Freak. . Aye, ya aye aye aja. Bidari, singing legend. Yona, si pemakan angin. Elang, om om mesum. Harmi, mas Afgan. Anin, yang selalu blereng. Nisa, pencinta kucing. Kukuh, katanya sih mirip Robert Pattinson. Dedana, otak alien. Mak, penyanyi #2. Megan, kokoronotomo. Harjo, ‘jajan yoo..’. Nabil, penggaet pria. Dhea, yang selalu dikhianati. Vena, bu kos. Ifah, pencinta Morgan. Thariq, yang selalu tertindas. Dita, pendiem tapi asik. Via, mbak bos alias ucok. Echa, Tante Style. Salsa, gaya berbicara sehari harinya seperti eminem kalau ngerapp. Shafira, bersin gaduh.
Mungkin, tanpa bocah-bocah gayeng itu kelas kami gak akan gayeng. Mungkin, tanpa mereka juga, kami tidak akan jadi IX-10. Gaes, dimanapun kalian berada nanti, jalan apapun yang kalian tempuh, jangan pernah melupakan masa masa SMP kita. Walaupun dimasa akan datang, masih banyak kenangan kenangan yang lebih indah yang menunggu kalian. Salam Bhawara!












bonus dari thariq oppa:)




Thursday, 17 April 2014

Adolescence

Tiga tahun, jika dihitung memang terasa lama. Ada 1095 hari, 144 minggu, dan 36 bulan. Tapi jika dijalani rasanya seperti mengarungi mesin waktu. Sangat cepat. Semua hari, minggu, bulan,dan tahun terasa seperti beberapa detik. Tidak ada yang mengira, bahwa tiga tahun akan secepat mengendarai pesawat jet. Tidak ada yang mengira, bahwa selama tiga tahun itu kita membentuk beberapa kenangan manis maupun pahit, yang mungkin akan sulit untuk dilupakan. Tidak ada yang mengira, semua kenangan yang kita rajut selama tiga tahun itu akan mengantarkan kita pada perpisahan. Dan semua hal tersebut berawal dari tahun 2011.


KELAS VII
            Di tingkat kelas inilah, merupakan tingkatan yang paling cupu dan alay. Walaupun masih unyu. Awal masuk sekolah, namanya juga anak baru pasti masih malu-malu. Dan kalau didepan senior/kakak kelas takutnya bukan main. Kita sampai harus nunduk nunduk kalau lewat didepan kelas senior. Dan maka dari itu, kita tidak akan pernah rela melewati deretan kelas IX.
            Saat duduk dikelas VII ini, saya langsung bisa hafal nama orang-orangnya dalam 1 hari. Tapi, baru bisa hafal wajah orang-orangnya 1 minggu setelahnya. Dan baru bisa mengenal dekat orang orangnya saat saya duduk dikelas IX. Dan orang yang namanya pertama kali saya kenal itu Oktaviani Roosdiawati. Alias Kak Ros. Alias Via. Alias Mbak Bos. Alias Cecep.Yang tatapan matanya itu setajam silet. Yang gaya berbicaranya itu seliar Farhat Abbas. Yang tingkah lakunya itu seganas ibu saya. Pokoknya dia itu sosok antagonis yang agak wagu. Nah, Kak Ros ini saya kenal saat saya bingung mencari kelas. Waktu itu wajahnya masih seperti malaikat, yang unyu unyu botak gimana gitu.
            Yang kemudian, saat hari pertama masuk kelas saya berkenalan dengan Anak Agung Istri Mas Ratnaningrum. Anak bali yang berbahasa jawa. Anak bali yang tidak seperti anak bali. Anak bali yang puitis. Anak bali yang ingin jadi penulis. Anak bali yang mau menerbitkan buku tapi tidak jadi jadi. Anak bali yang—intinya dia ini anak bali. Kemudian, saya mengenal satu anak bali lagi. Made Dana M, yang menurut saya kesan waktu kita pertama bertemu itu negative. Karena dia itu selalu pegang Blackberry dan tidak pernah melirik sekitar. Dan itu yang membuat saya member dia cap ‘anak kaya yang sombong’ yang padahal setelah dia bercerita pada saya beberapa waktu yang lalu, ternyata dia hanya malu karena belum mengenal siapapun.
            Lalu, saya mengenal 26 orang yang lain dengan cara yang berbeda beda . Yang ogah banget saya ceritakan.           
             Dikelas VII ini anak-anaknya belum terlalu asik, mungkin karena kita belum saling mengenal dekat. Tapi, dikelas VII ini yang baling berkesan itu cekgunya/ gurunya. Mulai dari Rhoma Irama, Mr.Bean, Tintin, sampai Jokowi pun ada. Rhoma Irama itu guru Fisika, Mr.Bean guru Bahasa Inggris, Tintin guru Penjaskes, dan Jokowi guru Matematika. Penasaran sama nama aslinya? Baiklah, ayo kita bahas satu persatu …
            Yang pertama mau saya bahas itu Tuan Guru kita yang terhormat, Dewa dan Raja Dangdut sekampungnya……. Rhoma Irama. Sebenarnya, kita memanggil si bapak ini dengan sebutan Rhoma Irama bukan karena tidak ada alasannya, terlebih karena gaya bicaranya yang di-Terlalu-terlalukan. Nama asli manusia setengah dewa setengah raja setengah penyanyi dangdut setengah guru ini adalah Bapak Sudaryanto. Guru ini jugalah yang berjasa membuat saya buta akan Fisika selama satu tahun dikelas VII. Sungguh, saya benar benar buta akan Fisika pada waktu itu. Mungkin karena saat itu sekolah masih dalam status ‘SBI’ yang mana, si guru harus bisa menyampaikan pelajaran kepada muridnya menggunakan bahasa inggris yang sebenarnya alakadarnya. Begitu juga dengan Bapak Rhoma Irama ini, mungkin saya buta Fisika karena beliau ini buta bahasa Inggris. Ya jadinya, beliau ini berbicara bahasa Inggris itu seperti mengumpat, ya  mana saya tahu dan mengerti apa yang beliau ajarkan. Ditambah lagi, mungkin kalau bapak ini mengajar dengan bahasa lisan yang ‘kurang baik’ tapi bahasa tulisnya baik sih masih mending, ya mungkin ini satu lagi alasan saya buta Fisika, karena Bapak Rhoma Irama ini menulis menggunakan sandi rumput yang hanya dia dan Tuhan yang mengerti. Lalu, apa saya harus memakai bahasa kalbu untuk mengerti?
            Guru yang kedua adalah Mr.Bean, yang lahir dengan nama Ibnu Agus T.[tidak usah jelas jelas, tidak penting:p] Kesan pertama saya ketemu dengan bapak ini ya Mr.Bean. Kesannya saya terhadap beliau ya begitu terus, sampai saya sadar, kalau Mr.Bean ini sebenarnya sedikit mirip dengan Aziz Gagap, cuman kurang jambul kuningnya saja. Saat pertama kali beliau mengajar, saya merasa kalau orangnya itu asik bener dan unyu unyu gitu, tapi setelah beberapa kali mengajar langsung… si Mr.Bean berubah jadi Ibu Tirinya Bawang Putih yang kejam. Kita sekelas, harus membawa buku grammar yang sangat tebal, sehingga kalau digendong rasanya seperti menggendong gunung. Berat,cuy. Dan suatu ketika, saya pernah tidak membawa buku grammar. Dan si Mr.Bean ini seperti sudah punya feeling kalau saya tidak membawa buku grammar. Jadi dia langsung bertanya setangah teriak “Ada yang tidak membawa buku grammar? Ayo maju~” karena saya ini diajarkan kejujuran oleh ibu,bapak,nenek,om,tante,dan guru ngaji tentang kejujuran sejak kecil jadi saya maju. Walaupun saya tengak tengok kanan kiri yang tidak membawa buku siapa,hehe. Dan setelah maju, namanya juga Mr.Bean dan  kalau tidak aneh pasti bukan Mr.Bean lah. Jadi dia meminta kami, satu persatu menyanyi lagu bahasa inggris. Saya? Ya mana saya tahu, kan saya ngertinya cuma lagu korea. Sorry Sorry Sorry Naega Naega Naega~ tapi ya masak saya mau nyanyi lagu itu. Tidaklah, saya ini tahu diri kok. Jadi saya hanya menyanyikan lagu Happy Birthday. Dan untungnya, saya Lolos! Mungkinkah Mr.Bean sedang berulang tahun hari itu? Entah. Dan unfortunately, ananda Elang Pujangga[nanti dikelas IX sebutannya akan diganti,hehaha] tidak lolos dalam permainan kehidupan ini. Jadi, Mr.Bean meminta dia menyanyikan 10 lagu, kalau tidak mau akan ditambah menari. Nah lo! Ya, antara ikhlas dan tidak ikhlas, ananda elang ini mulai bernyanyi. Mengalunkan lagu dangdut yang sudah dia ubah menjadi bahasa inggris dengan versinya sendiri. Suaranya sungguh, saya sungguh tidak tahan. Mr. Bean ini memang tidak pernah habis akal. Setelah bosan mempermainkan kami dalam kontes menyanyi dadakan, beliau mulai membuat sesuatu yang tidak tertandingi kekuatannya. Death Card [semacam kartu yang diberi nama ana anak kelas lalu dilaminating,agar aman katanya]. Sekali panggil, tamat riwayat kita. Dan saya memang kurang bersahabat dengan Death Card, karena hampir disetiap pelajaran Mr.Bean saya yang menerima Death Card.
            Yang ketiga itu Tintin, atau biasa dipanggil Surya Paloh, eh salah pak Surya[saya lupa nama lengkapnya] saya agak sebal, walaupun sebenarnya senang sama pelajarannya. Kenapa saya senang? Karena, di pelajaran Pak Tintin ini pasti selalu bermain. Jarang yang namanya ambil nilai. Tapi….. ini juga yang membuat saya sebal. Karena terlalu banyak bermain, jadi kita ambil nilai itu selalu grusa grusu, maksudnya selalu terburu buru. Jadi di pertemuan terakhir baru kita ambil nilai. Dan saya sebal juga kalau disuruh yang namanya ‘senam’ karena kalau senam saya tidak pernah bisa mengikuti gerakannya [walaupun setalah saya ini,saya tahu bahwa bapak saya merupakan atlet senam] dan selalu dipermalukan…
            Jokowi oh Jokowi. Bapak kita yang satu ini sangat mirip dengan Jokowi. Panggil saja Bapak Supriyono. Guru Matematika tercinta kita, yang sebenarnya sangat saya benci ketika dikelas VII. Sangat sangat sangat saya benci. Sungguh. Tidak tahu kenapa, bapak ini sangat suka angka 6. Karena jika beliau meminta murid maju untuk mengerjakan soal,pasti yang ditunjuk adalah nomor 6. Dan sialnya, itu nomor presensi saya. Whose fault? Saya tidak akan menyalahkan orang yang member saya nomor presensi 6, tapi kenapa Pak Jokowi ini selalu menunjuk saya? Kalau soal yang diberikan sewaktu menunjuk saya gampang sih, No Prob. Tapi… sekali lagi, apa salah saya?kenapa soal yang diberikan kepada saya pasti yang sangat sulit. Bukan sekedar sulit. Tapi Extremely sulit. I fuck u,sir. Saya masih ingat sekali, saya tidak ditunjuk karena saya habis sakit cacar. Selama beberapa pertemuan beliau tidak menunjuk saya sama sekali. Tuhan rupanya sedang menampakan keajaibannya. Dan saya jadi sedih kalau mengingat nilai Matematika saya di kelas VII, semua 5 paling tinggi hanya 7,5. Tapi, untungnya saya bisa naik kelas dengan nilai raport 8. Bah. Cerdas kan saya? Hanya saya tidak habis pikir, bukankah 1 dari 30 orang siswa ada satu orang yang lebih pintar dari saya, si ranking 1,Tante Echa. Kenapa bapak tidak menunjuk Echa pak?  Mungkin bapak ini ngefans sama saya karena tahu saya nanti akan menjadi orang hebat yang akan merubah dunia, hehe.
“Aku ingin menjadi orang hebat. Orang hebat yang dapat membuat dunia berubah karena keberadaanku, meskipun hanya sedikit.” –Keteng